Seraya Ruang Kreativitas Musik Kita Hari Hari Ini

Oleh    : Ricky Subagja

Dunia Seni khususnya Seni Musik/Karawitan, dirasa seperti rimba raya yang memang sedikit orang menyatroni dan menyiangi. Persoalan-persoalan musik atau karawitan secara teks-konteks dan filosofis, kita tergiring untuk melihat Budaya yang memungkinkan bisa kita diselidiki, dipelajari dan dikembangkan lebih jauh lagi. Budaya sebagaimana diyakini merupakan sebuah kemampuan manusia dalam memproduksi sesuatu menggunakan pikiran atau akal-budinya, di mana hasil produksinya kerap disebut sebagai Ke-budaya-an. Produksi tersebut pada umumnya bisa berupa benda maupun konsep-konsep atau ide-ide tak kasat mata sampai dengan perwujudannya. Kebudayaan serta aspek-aspek nya, merupakan sesuatu yang bersifat dinamis sebagaimana ungkapan Allan P. Merriam yang menyatakan bahwa perubahan kebudayaan merupakan suatu yang pasti. Adapun yang membedakan antara perubahan kebudayaan serta unsur-unsur yang satu dengan yang lainya terletak pada kecepatan dinamika perubahan itu sendiri. Tak dapat dipungkiri, berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kebudayaan kita, khususnya seni musik  yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hingga saat ini, tentunya harus memiliki keterbukaan serta fleksibelitas terhadap perkembangan zaman. Kreativitas para seniman dalam menanggapi perkembangan zaman disinyalir menjadi salah satu tombak kebertahanan berbagai macam jenis musik kita hari ini.

Musik dan segala problematikanya menjadi gagasan awal yang akan menjerumuskan kita pada upaya kreativitas yang berakar dari kegelisahan, sebagaimana ungkapan Hadianda, D. S: “sebuah kegelisan dari sesuatu tertentu baik dari diri pribadi maupun hasil diskusi, menganggap bahwa potensi-potensi yang dimiliki seniman tidaklah kurang, justru ruang eksplorasi, eksperimentasi, dan ruang ekspresinya yang sangat kurang”. Berangkat dari kegelisahan tersebut komunitas OSTINATO yang di gawangi oleh Hadianda, D. S., et al menjadi sosok yang mempesona demi mencuatnya ruang-ruang kreatif dalam perspektif musik kita hari-hari ini. Dari sana terciptalah salah satu ruang kreatif yang bertajuk “Sowan Art”, konon menurut Hadianda sowan artinya silaturahmi dan art artinya seni. Kita dapat mengetahui kata tersebut, akan tetapi sulit untuk dipahami, karena mengetahui itu permukaan, memahami itu kedalaman[1]., agaknya seperti memiliki pesan yang mendalam.

Akibat dari gerakan Sowan Art, lahirlah tiga karya musik delikatesan, oleh para komponis muda-mudi yang bernama Keong, Caco, dan Sabrina., berhasil dipertunjukan pada hari Jumat 22 November 2024 di Coffee Hayhoo. Secara langsung memperlihatkan betapa apik nan merdunya karya-karya mereka, dan mari kita bahas satu-persatu. “Carukan” dari Keong, komponis asal Subang ini berhasil membawakan karyanya seperti mengeluarkan sebuah melodi yang ajaib dari alat musik kacapi, diawali dengan tempo yang sangat cepat dan permainan jemari yang rumit dibawakan secara cemerlang olehnya, ia menganggap motif demi motif yang ia mainkan sangatlah mengasykan, sehingga ia membuat motifis yang secara teknis bisa kita bayangkan agak rumit atau hampir rumit itu, disusun kedalam struktur yang fluktuatif. Menurutnya karya tersebut terinspirasi dari salah satu pola-pola permainan pada Gamelan yaitu, Caruk atau Interloking, dari pola tersebut ia kembangkan dan ia garap melalui alat musik kacapi, mengingat kata Edgard Varese “pencipta musik sekarang dimungkinkan, seperti sebelumnya tidak pernah terjadi, dengan sepuas-puasnya melampiaskan seluruh imajinasi yang ada di dalam batinnya”[2]. Bisa kita lihat dari carukan sebagai sumber aslinya, ia dapat membuat sedemikian rupa motifis dan teknik-teknik yang dibentuk dari melodi dan ritmik didalam tempo dan birama yang telah ditentukan, dan selebihnya itu urusan dia (keong).

Disambung oleh karya “Self” dari Caco, komponis asal Bandung ini mengaku karyanya adalah reinterpretasi dari film Andrean B, melalalui bunyi-bunyian gamelan ia menjuktaposisikan film dan musik yang ia ramu menjadi satu kesatuan, karena baginya objek tersebut memiliki kedudukan yang sama, artinya bukanlah hal yang bisa dispesialkan dari kedua objek tersebut, ditambah lagi ia ingin mendekontruksi[3] citra Gamelan yang terkesan seram ketika didengarkan, dari sana kita bisa menilai bagaimana perspektif Caco dalam memaknai Gamelan.

Terakhir dari Sabrina, komponis asal Bandung ini membawakan karya “Sound of Terembel”, ia mengatakan dalam diskusinya bahwa: terembel merupakan salah satu judul lagu dari Ketuk Tilu yang berkembang di daerah Karawang Jawa Barat, yang dimana lagu tersebut telah mengalami penurunan eksistensi, yang teridentifikasi berdasarkan penggunaanya, terutama penggunaan dalam bentuk musik karawitan. Kendati demikian, baginya hal tersebut tentu menjadi suatu fenomena yang sangat disayangkan, mengingat saat ini telah banyak kearifan lokal dan produk seni tradisi yang juga mengalami penurunan eksistensi karena kontinuitas perubahan kebudayaan masyarakat. Dari sanalah alasan utama Sabrina menjadikan lagu Terembel sebagai sumber ide untuk melakukan proses aransemen. Pada karya ‘trio’nya ini, ia menggunakan alat musik Cello, Flute, dan Piano. Karya olahannya mendapat respon dari telinga kita, masuk secara perlahan sekaligus melugasi kesan bunyi harmoni yang terjadi melalui ungkapan musikal.         

Sampai pada bagian akhir Sowan Art, ditutup dengan diskusi karya dan tanya jawab bahkan sampai kritik juga saran, moderator Mirna dan reviewer Yudis menjadikan karya-karya mereka lebih tereksplisit lagi. Beberapa orang bertanya dan beberapa orang memberikan saran, saya tulis hanya 3 orang saja, yang pertama (BahIman[4]), menurutnya karya yang dibawakan terkesan terburu-buru terutama dalam pengakhiran kalimat, seharusnya setiap segmen itu dapat diuraikan secara kronologis, baik berupa material ataupun gagasannya dalam bentuk lembah penguraian karya., yang kedua (Gigin[5]), menurutnya pewacanaan yang sistematis ini harus terus terbangun, jika kita mebuat sebuah ruang kreatif itu tidak boleh hanya diruang-ruang itu saja, yang paling meenggemaskan dan menarik dari ungkapannya yaitu, jika kita belajar salah satu alat musik misalnya kacapi, ya sudah sampe mati kita belajar itu sampai menjadi ahli dalam bidang itu, karena orang lebih tertarik pada hal-hal yang spesifik bukan pada hal yang general, terlebih lagi ia mengungkapkan betapa pentingnya sebuah data dengan membawa potret yang terjadi di luar sana, orang-orang di luar sana beranggapan bahwa data menjadi sesuatu yang mendasar dalam konteks pra-eksekusi, data juga dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, singkatnya., yang terakhir (Dinar/Kunay[6]), menurutnya tidak ada karya yang seada-adanya, terciptanya ruang aman dan nyaman akan membuka kemungkinan-kemungkinan dalam kekaryaan berdasarkan perspektif personal yang kemudian menjadi identitas, juga penggunaan idiom tradisi dengan medium kontra, itu dirasa sangat memungkinkan ketika mengeksplorasi akan jauh lebih luas lagi.

Sebagai penutup, mengenai hal-hal yang terjadi diatas merupakan sebuah penggalan dari beberapa kepingan seputar “Sowan Art” yang di tulis secara ikhlas dan dalam hati yang merdeka, karna bagi saya ini bukan hanya sekedar buah pemikiran yang melibatkan gagasan, rancangan, perencanaan, keseruan, dan perseteruan, tetapi yang paling utamanya ialah perasaan, karena kabar-kabari seni musik hari ini, secara faktual harus diakui memang kerap dimaknai sebatas dunia hiburan semata oleh kebanyakan kalangan, sedangkan seni karawitan secara faktual ramai-ramai ditinggalkan dan dilupakan. Meminjam dari kata kang Zaki “adanya kegiatan-kegiatan seperti ini (Sowan Art) adalah salah satu cara, yang menjaga otak kita tetap waras”. Hormat saya, semoga selalu panjang umur kreativitas.


[1] Lihat di Seni Memahami

[2] Lihat di Antara Kritik dan Apresiasi

[3] Lihat teori Derrida

[4] Ketua Jurusan Karawitan ISBI Bandung

[5] Dosen ISBI Bandung

[6] Dosen ISBI Bandung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *