Jumat, 19 Juli bertempat di Saga Vigor Lounge, Jl. Ciumbuleuit No. 152, Bandung digelar acara bertajuk “Rawkulture” yang diinisiasi oleh RSLV Media, Jenaka Roots Revival, dan juga Bemolion. Acara ini menghadirkan beberapa band yang punya catatan menarik di ranah musik arus pinggir tanah air, khususnya Bandung. Delapan band yang tampil tersebut adalah Skalianska, The Battlebeats, Bleki, Taruk, The Stomper ID, SKRG, The Duke, serta makin bertambah spesial karena juga menghadirkan Noin Bullet yang sedang menjalani tour di beberapa kota di Indonesia. Hingar bingar huru hara hura hura yang ditampilkan band-band tersebut makin lengkap dengan adanya Julia Ivoone yang bertindak sebagai selector pada malam hari itu.
Namun sebelum menikmati pertunjukan musik lintas genre dari line up “Rawkulture”, ada pula asupan-asupan nutrisi bermanfaat seputar fenomena industri musik melalui sesi talk show bertema “Industri Musik di Era Digital” bersama Chaerul Adjam (CEO Production House Berangkat Mengudara, Gitaris Noin Bullet) Yerry T-five (CMO Sora Music Publisher, Vokalis T-Five), dan juga Karel Trinov (Vokalis Taruk, Announcer). Acara yang dipandu oleh Ugenx & Papap Yopie ini mengetengahkan obrolan yang bisa menjadi insight menarik bagi penonton yang datang, mengingat jika bicara musik ‘hari ini’, hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari era digital yang kerap berkelindan dengan pola industri saat ini, baik itu arus pinggir atau pun utama. Bagaimana pada akhirnya sebuah band harus menjadi brand yang punya persona kuat di berbagai platform digital yang ada, hingga akhirnya band-band tersebut bisa muncul ke permukaan dan digemari banyak orang.
Beranjak pada acara selanjutnya, ada Skalianska yang siap memanaskan panggung dengan musik ska yang mereka usung. Setelah itu ada The Battlebeats, sebuah band yang berawal dari proyek garage rock nya Andresa Nugraha. Kehadiran band ini memberi warna berbeda dengan kebanyakan band yang tampil malam itu yang memang didominasi oleh band ska (ska, ska punk, skinhead, rocksteady, and whatever you named it about two-tone music).
Menggaris bawahi tentang era digital yang menjadi pembahasan di sesi talk show. Dalam konteks membangun band menjadi brand hal tersebut cukup terasa kala The Battlebeats tampil. Band ini cukup concern dengan brand image-nya lewat artwork serta penampilannya. Cukup terasa kuat, apalagi malam itu cukup jadi pembeda dengan band-band lainnya.
Lain lagi dengan band selanjutnya yang tampil, Bleki. Band ini cukup menjadi antitesis dari apa yang biasa ditampilkan sebuah band bergenre ska punk. Dengan mengetengahkan tagline “whatever ska-punx”, mereka cukup berhasil menampilkan sebuah pandangan anti image, yang kemudian menjadi image bagi mereka sendiri. Dibanding harus ambil pusing tentang seperti apa musik ska disajikan, mereka lebih memilih bersenang-senang dengan ska ala mereka sendiri. Beberapa lagu yang mereka sajikan berhasil mengajak penonton merapat ke bibir panggung, terlebih kala mereka membawakan lagu “Bandung Belongs To Me”.
Selanjutnya ada band Taruk, yang sama seperti The Battlebeats, cukup menjadi pembeda diantara band-band yang tampil malam itu. Band yang mengetengahkan musik hardcore metal/punk ini tampil sangar dan solid dengan isian distorsi yang lebih tebal dan agresif dibanding band-band sebelumnya. Ada kemarahan dan bara yang menyala yang dihadirkan band ini, tidak hanya pada aksen typografi nama bandnya saja, tapi juga cara mereka menaklukan panggung, terlebih sang vokalis yang bernyanyi seperti sedang mencari mangsa untuk diterkam. Dengan segala macam persona dan stage-act yang ditampilkan band ini seolah ingin mengganti nama dari Taruk menjadi Tarung, karena sepertinya malam itu mereka sedang ‘bertarung’ di medan yang cukup ‘asing’ bagi mereka. Meski begitu, panggung malam itu bisa mereka taklukan dengan baik.
Sehabis Taruk, ada The Stomper, The Duke, dan juga SKRG yang bergantian menaklukan panggung dengan musik yang mereka sajikan. Antusiasme penonton terasa ‘panas’ ketika tiga band ini tampil, terlebih ketika SKRG membawakan lagu “PMA (positive mental attitude)” yang pertama kali diperkenalkan ke khalayak luas oleh band asal Jepang-Amerika, Kemuri pada tahun 1998 lalu (3 tahun setelah band ini berdiri pada tahun 1995 di Oxnard, California, US-red). Pemandangan penonton yang merapat ke bibir panggung dengan kepalan tangan di udara menjadi satu hal yang membuat gelaran malam itu terasa hangat dan intens.
Menjadi penutup gelaran malam itu, tentu saja ada Noin Bullet yang tampil membawa romantisme seru kala single mereka yang berjudul “Bebas” sempat wara-wiri di televisi nasional. Ketika itu demam ska melanda tanah air lewat sederet band-band ska yang memeriahkan industri musik nasional, termasuk Noin Bullet itu sendiri. Dengan lagu yang sama, Noin Bullet membuka penampilannya malam itu, yang langsung disambut penonton untuk bersing-along ria bersama. Sebuah sajian menarik yang membawa lamunan indah bagi orang-orang yang merasakan gelombang ska pada awal era 90an akhir/awal tahun 2000-an. Namun bagi penikmat karyanya yang muda, band ini masih terasa relevan dengan musik yang mereka usung. Masih terasa enerjik dan mewakili darah muda yang katanya berapi-api ini.
Teks: Wenky Wiradi
Foto: Hilman Wirahman